Daán yahya/Republika

Ramadhan Bulan Perjuangan

Dalam Perang Badar, kaum Muslimin membuktikan kuatnya iman dan tekad mereka.

Oleh: Hasanul Rizqa

Ramadhan memiliki keistimewaan di antara bulan-bulan yang lain. Nabi Muhammad SAW menganjurkan kaum Muslimin untuk memanfaatkan pelbagai keutamaan yang ada di dalamnya. “Telah datang kepada kamu bulan Ramadan, bulan yang penuh berkah. Allah mewajibkan puasa bagi kamu pada bulan itu. Pada bulan itu (Ramadhan), pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya, ada suatu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang tidak mendapatkan kebaikannya, maka sungguh ia tidak mendapatkan kebaikan” (HR an-Nasa’i).

 

Ramadhan juga menyaksikan banyak momentum heroisme kaum Muslimin. Sejarah mencatat, pelbagai perjuangan fisik dilakukan umat Islam bertepatan dengan bulan puasa, sejak zaman Rasulullah SAW. Di antaranya adalah Perang Badar dan Pembebasan Makkah (Fath Makkah).

 

Semua itu menandakan bahwa Ramadhan bukanlah waktu untuk berpangku tangan atau bermalas-malasan meskipun puasa selama belasan jam dilakukan dalam bulan ini. Alih-alih kendor, semangat kaum Muslimin seharusnya kian menguat selama bulan puasa. Generasi-generasi umat Islam dari masa silam—termasuk para sahabat Nabi hingga pejuang Palestina—telah menunjukkan contoh yang luar biasa mengenai Ramadhan sebagai bulan perjuangan. Inilah yang semestinya kita tiru.

DOK WIKIPEDIA

Pertolongan Allah

 

“Dan sungguh, Allah telah menolong kamu dalam Perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, agar kamu mensyukuri-Nya” (QS Ali Imran: 123). Muhammad Husain Haekal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad menuturkan konteks Perang Badar, sebuah pertempuran yang di dalamnya pertolongan Allah datang kepada Muslimin.

 

Sekitar satu tahun sesudah Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya hijrah ke Madinah, pelbagai bentrokan kecil terjadi. Penyebabnya, orang-orang Quraisy di Makkah menjarah barang-barang peninggalan Muslimin yang tanpa penjagaan karena para pemiliknya ikut berhijrah. Bahkan, kaum musyrikin ini tanpa merasa bersalah menjadikan barang-barang itu dagangan untuk dijual ke luar.

 

Kafilah-kafilah Quraisy mesti melewati daerah sekitar Madinah untuk mencapai Syam. Begitu mengetahui harta bendanya dijamah para musuh Allah itu, kaum Muslimin yang berhijrah dari Makkah (Muhajirin) hendak merebutnya kembali. Inilah yang melatari konflik-konflik kecil sebelum Perang Badar pecah.

 

Rasulullah SAW mengutus Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawan untuk mengintai pergerakan rombongan Quraisy yang hendak melewati area perkebunan kurma di Nakhlah, sekitaran Madinah. Salah satu anggota tim ini adalah Waqid bin Abdullah at-Tamimi, seorang pemanah ulung.

 

Di Nakhlah, kelompok Abdullah bin Jahsy mengadang kafilah Quraisy yang mengangkut barang-barang milik Muhajirin. Dalam kejadian ini, at-Tamimi berhasil menewaskan seorang tokoh Quraisy, Amr bin al-Hadzrami. Orang-orang Quraisy yang tersisa dari rombongan ini dapat melarikan diri ke Makkah.

 

Para petinggi Quraisy bertekad membalas kekalahan di Nakhlah itu. Caranya dengan memprovokasi suku-suku Arab di luar Makkah. Muhammad SAW dan Muslimin difitnah telah melakukan pembunuhan pada saat bulan suci berlangsung. Dalam tradisi bangsa Arab, pertempuran memang terlarang dilakukan pada bulan-bulan tertentu, yakni Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab

 

Sementara itu, musim gugur tiba. Pada tahun kedua sesudah hijrahnya Muslimin, Abu Sufyan bin Harb kembali memberangkatkan kafilah dagangnya dari Makkah ke Syam. Kaum Muhajirin di Madinah menerima kabar ini. Mereka lantas bergerak untuk mengadang rombongan Abu Sufyan itu, yang sesungguhnya membawa barang-barang milik Muslimin dari Makkah.

 

Abu Sufyan tanpa kendala melakukan perjalanan menuju Syam. Namun, dalam perjalanan pulang ke Makkah dirinya merasa ragu, apakah mampu menghindari adangan Muslimin di sekitar Madinah. Ia lantas menyuruh seseorang dari kelompoknya untuk pergi ke Makkah terlebih dahulu dan mengimbau orang-orang Quraisy agar bersiap melindunginya dari ancaman Madinah.

 

“Hai orang-orang Quraisy! Kafilah, kafilah! Harta bendamu di tangan Abu Sufyan telah dicegat oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Kamu sekalian harus segera menyusul. Abu Sufyan butuh pertolongan!” demikian kata Dzamdzam, orang suruhan Abu Sufyan, setibanya di Makkah.

 

Sesudah itu, Amr bin Hisyam naik ke atas podium. Tokoh Quraisy yang masyhur dengan nama Abu Jahal itu lantas berpidato. Ia membangkitkan emosi kaum musyrikin agar mau mengangkat senjata. Tak lama kemudian, terbentuklah pasukan besar yang terdiri atas 900 hingga 1.000 orang. Mereka bertolak dari Makkah untuk memerangi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin.

DOK WIKIPEDIA

Di Madinah, Nabi SAW menerima informasi tentang rencana orang-orang Quraisy. Pada hari kedelapan di bulan Ramadan, sebanyak 313 ratusan orang Muslimin berangkat dengan dipimpin Rasulullah SAW untuk menyambut musuh di luar kota. Adapun kepemimpinan Madinah sementara waktu diserahkan kepada Abu Lubaba.

 

Awalnya, Nabi SAW begitu sampai di Lembah Badar menugaskan beberapa sahabat untuk mengadang pergerakan Abu Sufyan. Harapannya, tokoh Quraisy itu dapat ditangkap sebelum orang-orang musyrikin yang hendak menjemputnya datang. Namun, Abu Sufyan ternyata dapat meloloskan diri dan bergabung dengan pasukan Quraisy.

 

Sempat terjadi diskusi di antara para sahabat. Beberapa menghendaki agar Nabi SAW dan pasukan Muslimin kembali saja ke Madinah. Perlawanan dianggap tidak perlu lagi senjata karena kafilah Abu Sufyan sudah pergi.

 

Ketika itulah, turun surah al-Anfal ayat tujuh. Artinya, “Dan (ingatlah) ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah untukmu. Namun, Allah hendak membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir sampai ke akar-akarnya.”

 

Ayat itu melenyapkan keraguan dan memantapkan hati kaum Muslimin untuk berjihad fii sabilillah. Sementara itu, pasukan Quraisy justru dilanda kegamangan. Dengan hadirnya Abu Sufyan di tengah mereka, orang-orang kafir ini mulai bimbang. Mestikah melanjutkan misi menyerang Madinah? Bukankah kafilah Abu Sufyan sudah berhasil sampai dengan selamat?

 

Abu Jahal tidak terima. Ia memanas-manasi mereka bahwa Suku Quraisy akan dicap sebagai penakut oleh seluruh Arab karena tidak jadi menyerang Madinah. Kecuali orang-orang Bani Zuhra yang memilih pulang ke Makkah, kebanyakan pasukan musyrikin setuju dengan pendapat Abu Jahal.

 

Mendekati tanggal 16 Ramadhan, tampak bahwa pertempuran akan pecah di antara kedua belah pihak. Rasulullah SAW dan kaum Muslimin mendirikan kemah dekat mata air di Lembah Badar. Beliau dan para sahabat juga menyadari, jumlah musuh tiga kali lipat daripada mereka.

 

Pada malam itu, Nabi SAW berdoa di dalam kemahnya. “Allahumma ya Allah. Kaum Quraisy kini datang dengan segala keangkuhannya, berusaha mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, pertolongan-Mu juga yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini binasa, tak lagi ada ibadah kepada-Mu di muka bumi,” demikian munajat beliau.

 

Beberapa saat kemudian, turunlah wahyu. “(Ingatlah), ketika kamu (Muhammad) memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sungguh, Aku (Allah) akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’ Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan, kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana” (QS al-Anfal: 9-10).

DOK WIKIPEDIA

Kemenangan di Ramadhan

 

Pagi itu, Jumat 17 Ramadan, kedua pasukan saling bertempur dengan sengit. Saat perang berkecamuk di Lembah Badar, Allah Ta’ala menurunkan seribuan malaikat dari langit sebagai bantuan kepada umat Islam.

 

Buku Hayatu Muhammad karya Muhammad Husain Haekal memaparkan patriotisme Muslimin dalam Perang Badar. Tak ada beda antara Muhajirin dan Anshar. Semuanya menyatu dalam Islam.

 

Said bin Muadz, sang pemimpin Anshar, menegaskan komitmen kaumnya kepada Rasulullah SAW jelang pertempuran. “Saya bersumpah demi Zat yang menggenggam jiwaku di Tangan-Nya,” kata Ibnu Muadz, “jika engkau, ya Muhammad, menyeberangi lautan, kami akan mengikutimu. Jika engkau mengarungi sampai negeri yang jauh, kami akan mengikutimu. Tidak ada satu pun dari kami yang menetap. Kami selalu sabar, bersungguh-sungguh, dan jujur dalam upaya kami!”

 

Seruan ini disambut Al-Miqdad bin Amr, salah satu yang pertama memeluk Islam. “Wahai Rasulullah!” katanya, “ Kami sekali-kali tidak akan pernah mengatakan kepadamu seperti Bani Israil mengatakan kepada Nabi Musa, ‘Pergilah berperang dengan Tuhanmu, kami duduk di sini saja.’ Dengan tulus kami katakan, ‘Pergilah berperang dengan Tuhanmu, dan kami pun berperang di sisimu pula.’”

 

Begitu para sahabatnya itu selesai bicara, cerahlah wajah Rasulullah SAW. “Seolah-olah kini kehancuran mereka, para musuh Allah itu, sudah tampak jelas di hadapanku,” kata beliau.

 

Pada Jumat, 17 Ramadhan, Muslimin memulai jihad di Lembah Badar. Saat perang akan dimulai, Aswad bin ‘Abdul Asad keluar dari barisan Quraisy. Ia langsung menyerbu ke tengah pasukan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah dibuat. Belum sempat ia melakukan tindakan itu, Hamzah bin Abdul Muthalib berhasil melumpuhkannya.

 

Begitu melihat Aswad jatuh, Utba bin Rabiah tampil didampingi Syaiba dan anaknya—Walid bin Utba. Dari barisan Muslimin, tidak hanya Hamzah, melainkan juga Ali bin Abi Talib dan Ubaidah bin al-Harith maju ke depan. Paman Nabi SAW itu langsung melumpuhkan Syaiba. Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid untuk banyak bergerak. Keduanya segera membantu Ubaidah yang sedang menghadapi Utba. Melihat kekalahan Ibnu Rabiah, pihak Quraisy seketika menyerbu. Kedua pasukan saling menyerang.

Peristiwa Perang Badar inilah yang menentukan bagi kelanjutan dakwah ajaran Islam. Alquran pun telah melukiskannya sebagai suatu mukjizat.

Rasulullah SAW menyerukan, siapapun Muslim yang maju melawan musuh Allah akan mendapatkan surga. Mendengarnya, pasukan tauhid pun langsung bersemangat. Pandangan mata mereka tertuju pada pemuka-pemuka Quraisy yang tampak pongah karena merasa menang jumlah.

 

Nabi SAW mengambil segenggam pasir. “Celakalah wajah-wajah para musuh Allah itu!” kata beliau sembari melemparkan pasir itu ke arah musyrikin. Seketika, tak ada satu pun orang kafir kecuali matanya kemasukan debu.

 

“Serbu!” seru Nabi Muhammad SAW.

 

Secara serentak, kaum Muslimin pun berduyun-duyun maju. Jiwa mereka telah dipenuhi semangat membara. Mereka merindukan syahid. Dalam dadanya hanya ada rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Allah SWT pun menurunkan pasukan-Nya, yakni para malaikat. Pasukan dari langit itu menambah kekuatan Muslimin.

 

Fenomena ini disingguh dalam surah al-Anfal ayat 12. Artinya, “(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.’ Kelak, akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukul-lah di atas leher mereka, dan pukul-lah tiap ujung jari mereka.”

 

Pasukan malaikat ikut memburu musuh-musuh Allah di Lembah Badar itu. Sejumlah sahabat Nabi SAW menuturkan kesaksiannya sesudah pertempuran itu usai. Abdullah bin Abbas menceritakan, “Tatkala seorang dari kaum Muslimin sedang semangatnya mengejar musuh di hadapannya, tiba-tiba ia mendengar suara pukulan cemeti dari langit dan teriakan, ‘Majulah, wahai Haizum!' Seketika, ia melihat ke arah orang musyrik yang tadi berada di hadapannya. Didapatinya musuh itu tersungkur dalam posisi terlentang, hidungnya telah luka-luka, dan wajahnya terbelah seperti habis terkena pukulan cemeti dan seluruhnya menghijau.”

 

Orang Anshar itu lantas bercerita kepada Rasul SAW. Beliau berkata, “Benar yang engkau katakan. Itu adalah sebagian bala bantuan dari langit ketiga.” Kesaksian lainnya disampaikan Abu Dawud al-Maziniy, “Sungguh, saat pertempuran Badar aku mengikuti seorang laki-laki dari kaum musyrikin untuk memenggalnya. Namun, tiba-tiba kepalanya sudah terlebih dahulu jatuh ke tanah sebelum pedangku menebasnya. Sadarlah aku bahwa ada orang lain yang telah membunuhnya.”

 

Kejadian ini diabadikan dalam Alquran, surah al-Anfal ayat 17. “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”

dok pxhere

Ya, di Lembah Badar itu Rasulullah menyaksikan, Allah telah melaksanakan janji-Nya. Allah telah memberikan kemenangan kepada pihak Muslimin. Di pengujung pertempuran itu, pasukan Quraisy kocar-kacir sama sekali. Yang masih bernapas, berusaha kabur ke arah Makkah. Beberapa di antaranya dapat ditangkap sehingga menjadi tawanan Muslimin. Sisanya tersungkur mati dalam keadaan hina.

 

Peristiwa Perang Badar inilah yang menentukan bagi kelanjutan dakwah ajaran Islam. Alquran pun telah melukiskannya sebagai suatu mukjizat. Meski tak unggul secara jumlah, kaum Muslimin berhasil meraih kemenangan atas izin Allah.

 

Setelah meraih kemenangan, Nabi Muhammad SAW kemudian mengutus Abdullah bin Rawaha dan Zaid bin Haritsah ke Madinah untuk menyampaikan kabar gembira ini kepada penduduk setempat.

 

Selanjutnya, Rasulullah SAW dan para sahabatnya bergerak menuju Madinah. Di antara mereka membawa sejumlah tawanan dan rampasan perang. Sesudah menyeberangi Shafra’, pada sebuah bukit pasir beliau berhenti.

 

Di tempat itu, harta rampasan perang yang sudah ditentukan Allah SWT bagi kaum Muslimin dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, pembagian itu telah dikurangi seperlimanya, sebagaimana ketentuan dari Allah SWT.

 

“Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (QS al-Anfal: 41).

 

Nabi SAW membagi-bagi rampasan perang itu secara adil di kalangan Muslimin. Bagian mereka yang gugur di Badar diberikan kepada ahli warisnya. Kaum Muslimin yang bertahan di Madinah pun mendapatkan bagian. Sebab, mereka ketika pertempuran berlangsung bertugas mengurus keperluan penduduk.

top